TIGA HAL YANG MENYELAMATKAN DAN TIGA HAL YANG MERUSAK
Saudaraku, dalam hidup yang singkat ini sering
kali kita terjebak dengan hal-hal yang sepele, namun menguras energi baik dalam
diri kita. Akibatnya, agenda-agenda besar yang menjadi tugas kita sebagai
khalifatullah di muka bumi terabaikan.
Sebagai khalifah, kita bertugas memakmurkan
bumi, menciptakan peradaban dan menebarkan Islam yang rahmatan lil-alamin.
Diriwayatkan dari Ibnu Umar RA, Rasulullah SAW
berkata, “Ada tiga hal yang menyelamatkan dan tiga hal yang merusak. Yang
menyelamatkan adalah takwa kepada Allah dalam sepi maupun ramai, berkata benar
(adil) dalam kondisi ridha maupun marah, dan bersikap sederhana dalam keadaan
kaya maupun miskin. Sedangkan yang merusak adalah bakhil yang kelewatan, nafsu
yang diikuti, dan menyombongkan diri sendiri.” (HR Baihaqi).
Mari kita telaah lebih lanjut. Tiga penyelamat
terdiri atas bertakwa, adil dan sederhana.
Pertama, Takwa bermakna melaksanakan seluruh perintah Allah dan menjauhi
larangan-larangan-Nya. Ini merupakan tanggung jawab yang tidak sederhana,
karena menuntut seorang hamba secara total untuk patuh dan pasrah hanya kepada
Allah. Sebagian kita berpendapat takwa sekadar melaksanakan shalat, puasa, haji, dan perkara ubudiyah lainnya.
Dalam hadits di atas disebut taqwallâh fis sirri
wal ‘alâniyah. Artinya, takwa dalam setiap keadaan. Takwa menuntut seseorang
hanya takut kepada Allah semata, bukan kepada yang lain, termasuk kepada atasan
sendiri.
Dalam pesan Rasulullah itu, taqwallâh fis sirri
wal ‘alâniyah bisa dikontraskan dengan perilaku merusak hawa muttaba’un atau
hawa nafsu yang dituruti.
Inilah yang membuat takwa terasa sangat berat
karena musuh terbesarnya adalah nafsu alias diri sendiri.
Pernahkah kita merasakan: kita terlihat begitu
baik dan shalih saat bersama orang lain dan begitu binal dan durhaka saat
sendirian?
Kedua, berkata benar dalam kondisi senang maupun marah. Emosi kita yang
pasang-surut tak boleh menggoyahkan kita untuk tetap berpegang pada kebenaran
dan keadilan. Mencaci maki dan memfitnah tetap terlarang meskipun ditujukan
kepada orang yang sangat kita benci lantaran berbeda agama, mazhab atau partai
politik. Korupsi mesti disanksi meskipun itu dilakukan oleh kerabat atau anak
sendiri.
Ketiga, sederhana saat kaya maupun miskin. Sederhana saat miskin bukan
hal yang aneh, sebab memang sedang “tak berpunya”. Namun sederhana saat kaya
bukanlah hal mudah.
Karena itu, kita diajarkan untuk hidup zuhud.
Kata Ibnul Qayyim, “Zuhud itu bukanlah orang yang meninggalkan gemerlap dunia
dari genggamannya, tetapi hatinya terus memikirkannya. Zuhud adalah orang yang
meninggalkan dunia dari hatinya, meskipun ada dalam genggamannya.”
Hal ini menjadi ciri dari kedewasaan seseorang
dalam memaknai kekayaan. Kekayaan tidak diartikan sebagai tujuan melainkan
sebatas sarana. Karenanya penggunaannya pun seyogianya disesuaikan dengan
kebutuhan belaka. Sederhana bukan berarti kekurangan, apalagi berlebihan.
Saudaraku,
mari kita lihat hal-hal yang merusak umat manusia.
Pertama: Pelit. Dalam hadits tersebut, Rasulullah SAW menggunakan kata
“As-Shuh”, bukan “bakhil”. Kata tersebut punya makna lebih pelit dari sekedar
pelit (bakhil). Kira-kira, orang itu bukan cuma pelit pada orang lain, tetapi
pelit pada diri sendiri. Pada diri orang itu terkumpul sifat semua sifat pelit:
kikir, kedekeut dan borok sikutan.
Sifat seperti itu sangat tak terpuji. Karena
itu, Ali bin Abi Thalib berkata, “Aku tak habis pikir dengan orang pelit. Orang
miskin berlari darinya. Sedangkan orang kaya meninggalkannya dalam membanggakan
harta. Di dunia, dia hidup dalam kemiskinan. Di akhirat dia dimintai
pertanggung-jawaban dalam kelompok orang-orang kaya”.
Ibnul Qayyim menulis, “Pelit (pada dirimu
sendiri) adalah kemiskinan yang tak berpahala”.
Rasulullah SAW berpesan, “Jauhilah perbuatan
sangat kikir karena ia merusak orang (kaum) sebelum kamu”. (HR Abu Dawud).
Perusak
yang kedua adalah nafsu yang
diikuti. Pepatah Arab mengatakan, “nafsu bagaikan anak kecil. Jika engkau tak
pandai mengendalikannya, maka engkau akan dikendalikannya”.
Ungkapan itu benar sekali. Anak kecil yang
merengek minta permen, misalnya, jika dituruti justru akan menjerumuskannya
pada sakit gigi. Tokoh yang terus mengikuti hawa nafsu adalah Firaun. Nafsu
kekuasaan telah menjadikan dirinya sombong, serakah, dan akhirnya berkata, aku
adalah tuhan kalian.
Ketiga: menyombongkan diri sendiri. Membanggakan kualitas diri sendiri
bisa menjerumuskan seseorang kepada perilaku menyepelekan orang lain atau
‘ujub. Sedemikian bahayanya penyakit ‘ujub sehingga Ibnul Qayyim berkata, “Seseorang
yang tertidur di malam hari lalu menyesal di pagi hari adalah lebih baik dari
pada seseorang yang tahajud di malam hari lalu menyombongkan diri (dengan
tahajud itu) di siang hari”.
Semoga kita berhasil mendapatkan tiga
penyelamat, dan terhindar dari tiga perusak itu.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar