Jumat, 09 September 2016

Waspadai Bahaya LGBT
                Gerakan kaum lesbian, gay,  biseksual dan transgender (LGBT) di Indonesia saat ini telah menyebar di seluruh wilayah Indonesia dan sangat mengkhawatirkan kehidupan bangsa kita yang dikenal religius. Kaum LGBT dalam memperjuangkan kepentingan dan nasib mereka selalu berlindung dibalik kebebasan hak asasi manusia (HAM). Mereka melakukan diskusi-diskusi khusus diantara mereka dan selalu meminta bantuan para penggiat Hak Asasi Manusia (HAM). Mengapa para penggiat HAM mereka rangkul?. Para penggiat HAM yang sebagian besar berpaham liberal (berpaham kebebasan tanpa batas) memang senang mendukung kaum LGBT dengan berlindung dibalik kebebasan dan HAM. Padahal hakikatnya kaum LGBT adalah orang-orang yang berprilaku menyimpang dalam kehidupan seksualnya. Mereka (kaum LGBT dan Penggiat HAM yang liberal) menginginkan perilaku menyimpang mereka dalam seksualitas diakui keberadaannya dan diberi kebebasan seluas-luasnya seperti di negeri Barat. Lebih parah lagi, kaum LGBT ingin menyebarluaskan ‘virus’ penyimpangan ini kepada generasi muda yang dapat mengancam masa depan bangsa dan Negara.
                Kaum LGBT saat ini makin berani dengan kurang tegasnya pemerintah terhadap penyebaran paham ini.  Beberapa waktu yang lalu, ekelompok orang yang menamakan dirinya penggiat Hak Asasi Manusia melakukan judicial review terhadap pasal 2 ayat 1 UU Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan ke Mahkamah Konstitusi (MK) untuk menggugat pasal yang mengatur perkawinan harus diantara dua orang yang berlawanan jenis kelamin. Artinya mereka tanpa malu-malu menghendaki perkawinan kaum LGBT yang sejenis minta diakui Negara. Saat itu dalam siding MK mereka berhadapan dengan MUI yang sudah barang tentu menolak perkawinan sejenis yang merupakan bentuk kekejian dan perbuatn yang mengundang murka Allah SWT. Alhamdulillah, MUI berhasil menang dan gugatan mereka ditolak.
                Sebenarnya, apa sih bahayanya kamu LGBT ini?. Usmanul Hakim, salah seorang peserta Program Kaderissai Ulama (PKU) angkatan IX Universitas Darussalam pondok modern Gontor, dalam tulisannya yang berjudul LGBT: Ancaman Serius Keluarga dan Negara Kita, menyebutkan beberapa bahaya kaum LGBT ini anatar lain:
1.       Kaum LGBT secara sadar menghendaki kerusakan bagi bangsa dan Negara kita, karena pernikahan sejenis tidak akan menghasilkan keturunan. Kalau ini dibiarkan akan terjadi penurunan jumlah penduduk di Indonesia yang bisa mengancam pertahanan dan keamanan Negara.
2.       Kerusakan moral dan akhlak semakin besar, karena kaum LGBT ini bertentangan dengan fitrah manusia dan kaum LGBT ini menjadi penyebar virus HIV AIDS yang mematikan.
3.       Kaum LGBT yang melegalkan pernikahan sejenis juga akan mengancam tradisi dan budaya masyarakat kita yang sangat menjunjung tinggi pernikahan yang sesuai syariah dan budaya bangsa yang beragam.
4.       Kaum LGBT ini akan membuat Negara menjadi lemah. Karena Negara yang kuat hanya bisa dihasilakn dari keluarga yang sehat dan kuat jasmani dan rohaninya.
5.       Kaum LGBT ini jika tidak kita hadapi dan luruskan akan mendatang azab dari Allah seperti yang terjadi pada zaan Nabi Luth AS dimana karena mereka tidak mematuhi Nabi Luth yang melarang perkawinan sejenis akhirnya Allah SWT mendatangkan azab berupa hujan batu yang membinasakan.
Semoga kita bisa menjaga keluarga dan masyarakat kita dari virus LGBT yang sangat berbahaya. Amin ya Rabbal Alamin.

(dikutip dari Majalah Gontor edisi 9 Tahun XIII Januari 2016) 

Sabtu, 13 Agustus 2016

10 Ciri Hati Yang Sehat

Apakah hati kita sehat? Ternyata Ibn Qayyim Al-Jauziyah dalam kitabnya “Ighatsatul Lahfan min Mashayidisy Syaithan”memberikan paparan lengkap, termasuk ciri-ciri, apakah hati kita sehat, sakit atau telah mati.
Sayangnya terhadap perkara hati, banyak manusia kurang perhatian. Sangat berbeda dengan perkara fisik. Setitik jerawat di wajah saja, langkah untuk mengobatinya sedemikian luar biasa. Namun, sekali lisan kita merendahkan sesama, menjatuhkan kehormatannya, sama sekali diri tak merasa hati sedang dalam masalah.
Padahal, noda yang dibiarkan terus menutupi kejernihan hati akan berdampak pada buruknya pemikiran dan perbuatan. Oleh karena itu sangat penting bagi setiap Muslim mengenali ciri-ciri hati yang sehat. Menurut Ibn Qayyim Al-Jauziyah, ciri-cirinya ada 10 macam.
Pertama, hati yang sehat lebih menyukai hal yang bisa memberi manfaat dan kesembuhan daripada terhadap hal yang membahayakan dan menyakitkan, sedangkan hati yang sakit sebaliknya. Untuk itu, mesti dipahami bahwa makanan yang baik bagi hati adalah iman, sedangkan obat terbaik baginya adalah Al-Qur’an. Dan, keduanya (iman dan Al-Qur’an) sama-sama mengandung gizi dan obat sekaligus.
Kedua,menjauhi dunia dan menempatkan diri di akhirat, sehingga seakan-akan merupakan salah satu putra dan penghuni akhirat yang datang ke dunia sebagai perantau yang mengambil sekedar kebutuhannya saja, kemudian kembali ke negeri asalnya.
Hal ini didasarkan pada hadits Nabi, “Jadilah di dunia ini seakan-akan dirimu adalah orang asing atau orang yang singgah dalam erjalanan. Dan anggaplah dirimu sebagai seorang ahli kubur.” (HR. Bukhari).
Kemudian, Sayyidina Ali bin Abi Thalib Karamallahu Wajhah berkata, “Dunia telah beranjak pergi, sedangkan akhirat telah beranjak datang dan masing-masing memiliki anak-anak. Maka, jadilah anak-anak akhirat, jangan menjadi anak-anak dunia, karena hari ini adalah masa beramal, bukan masa berhitung, sedangkan esok adalah masa berhitung, bukan masa beramal.”
Ketiga, senantiasa memacu pemiliknya ber-inabah dan tunduk kepada Allah Ta’ala. Hatinya senantiasa diajak untuk nikmat dalam mengingat Allah, sebab hanya dengan mengingat Allah semata, hati akan tenteram.
ٱلَّذِينَءَامَنُواْوَتَطۡمَٮِٕنُّقُلُوبُهُمبِذِكۡرِٱللَّهِ‌ۗأَلَابِذِڪۡرِٱللَّهِتَطۡمَٮِٕنُّٱلۡقُلُوبُ
“(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram.” (QS. Ar-Ra’d [13]: 28).
Imam Abu Husain Waraq berkata, “Kehidupan hati terletak pada mengingat Yang Mahahidup dan Yang tidak akan mati, kehdiupan yang bahagia adalah kehidupan bersama Allah Subhanahu wa Ta’ala semata.
Keempat, tidak berhenti mengingat Allah, tidak bosan berbakti kepada-Nya serta tidak merasakan kebahagiaan dengan selain-Nya kecuali dengan orang yang membimbing dan mengingatkan kepada-Nya, serta mengajari hal ini.
Kelima, apabila terlewatkan dari wiridnya, ia merasakan kepedihan yang melebihi kepedihan orang rakus yang kehilangan hartanya.
Keenam, merindukan kebakitan sebagaimana orang lapar yang merindukan makanan dan minuman.
Ketujuh, apabila memasuki waktu sholat, kecemasan dan kesedihannya terhadap dunia menjadi lenyap, ia betul-betul keluar dari dunia dan menemukan ketenangan dan kebahagiaan dalam sholat tersebut.
Kedelapan, hanya Allah satu-satunya perhatian dalam hidupnya.
Kesembilan, pelit terhadap waktu agar tidak berlaku sia-sia, melebihi kepelitan orang yang paling pelit terhadap hartanya.
Kesepuluh, senantiasa memperhatikan perbaikan amal, melebihi perhatiannya terhadap amal itu sendiri. Ia berkeinginan kuat untk merealisasikan keikhlasan dan mutaba’ah(mengikuti sunnah Rasul). Selain itu, ia tetap menyadari karunia Allah di dalamnya dan kekurangannya dalam memenuhi hak Allah.
Demikian itulah ciri-ciri hati yang sehat, yang tidak bisa disaksikan kecuali oleh hati yang sehat pula. Hati yang kelak akan dipanggil dengan ridha dari Allah Ta’ala.
يَـٰٓأَيَّتُہَاٱلنَّفۡسُٱلۡمُطۡمَٮِٕنَّة
ٱرۡجِعِىٓإِلَىٰرَبِّكِرَاضِيَةً۬مَّرۡضِيَّةً۬
“Hai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya.” (QS. Al-Fajr [89]: 27-28).

Ayat di atas sangat baik jika diulang-ulang dalam keseharian kita, agar tumbuh kesadaran dan motivasi untuk mengamalkan apa yang menjadikan hati sehat, sehingga Allah kelak memanggil kita dengan ridha-Nya yang sangat luar biasa. Semoga Allah menolong kita semua, sehingga sepanjang hayat hati kita senantiasa dalam kondisi terbaiknya (sehat).*

Selasa, 26 Juli 2016

Orang Yang Beruntung Menurut Nabi SAW

Orang Yang Beruntung Menurut Rasulullah SAW
                Di Dunia ini setiap orang ingin menjadi orang yang beruntung setiap saat dan di manapun berada. Setiap orang berharap menjadi orang yang beruntung di dunia ini. Seperti apakah orang yang beruntung itu? . Kita sering menganggap atau mengukur keberuntungan hidip di dunia itu dengan banyaknya harta yang dimiliki, rumah yang mewah, kendaraan yang mewah, pekerjaan yang mendatangkan uang yang besar, atau cantik dan tampanya pasangan kita,  atau dengan banyaknya anak yang kita miliki. Kalau itu ukuran keberuntungan manusia, maka tolak ukur kita hanyalah tolak ikur materi semata. Jika demikian bagaimanakah karakter manusia yang beruntung itu sesungguhnya.
                Rasulullah saw telah menerangkan karakter orang-orang yang memperoleh keberuntungan dan menjadi manusia—manusia yang bernasib mujur. Beliau pernah bersabda:
“Qod aflaha man aslama wa ruziqo kafaafan wa qonna’ahullahu bima ‘aataahu (rowahul muslim)”
“Sungguh telah beruntung orang yang memeluk Islam, dikarunia rezeki yang cukup dan Allah menjadikannya bersifat qona’ah atas nikmat diberikan Allah kepadanya” (HR Muslim)
                Dalam petunjuk di atas, Rasulullah saw menetapkan keberuntungan bagi orang-orang yang memiliki tiga karakter tersebut. Karena, ketiga karakter tersebut telah menggabungkan kebaikan agama dan dunia.
·         Seorang manusia bila telah memperoleh hidayah untuk memeluk Islam yang merupakan agama yang benar di sisi Allah, sungguh ia telah memiliki kunci untuk hidup bahagia bukan hanya saja di dunia tetapi juga di akhirat. Dan bekal agama Islam yang ia peluk dengan teguh adalah satu-satunya jalan meraih surga dan terhindar dari siksa neraka.
·         Selanjutnya, ia memperoleh rizqi yang mencukupi kebutuhan dirinya, sehingga dengan rizqi itu dia dapat menjaga kehormatan dirinya untuk tidak meminta-minta atau mengemis kepada orang lain;
·         Lalu Allah SWT menyempurnakan anugrah pada dirinya dengan menjadikannya manusia yang bersifat Qona’ah, yaitu sifat ridho dengan rezeki yang diberikan Allah swt. Jiwanya menerima dan tidak lagi rakus dengan menginginkan sesuatu yang lebih dari itu.
Ada sebuah hadist dari Nabi saw tentang ridho dengan pembagian rezeki ini:
“wardho bimaa qosamallahu laka takun aghnannaasi”
“Ridhoilah apa yang Allah bagikan untukmu, maka engkau akan menjadi orang yang paling berkecukupan” (HR At-Thirmidzi dan lainnya)”

                Orang yang telah memperoleh ketiga hal ini, ia telah mendapatkan kebaikan dunia dan akhirat.  Kita harus memiliki ketiganya, terutama yang pertama yaitu Hidayat Islam. Tanpa hidayat Islam kita kan menjadi orang yang merugi di dunia dan akhirat. Adapun jika kita tidak dapat memenuhi sarat yang kedua yaitu rezeki, maka hendaklah kita bersabar dan berusaha untuk mencari rizki dari Allah dengan cara yang benar dan bersabar serta berdoa. Insya Allah akan dikabulkan oleh Allah. Jika kita tidak memiliki yang ketiga, yaitu sifat Qonaah, maka kita akan menjadi hamba yang kurang bersyukur dan banyak mengeluh. Jadi usahakn ketiga syarat beruntung ini ada pada diri kita. Amiin Ya Robbal Alamiin.

Minggu, 17 Juli 2016

Empat Tanda Orang Yang Sholatnya Diterima

Empat Tanda Orang Yang Sholatnya Diterima
sholatOleh : Syaripudin Zuhri
Mungkin ada yang bertanya, ada orang yang rajin shalat, tapi mengapa shalatnya tidak mencegah dari perbuatan keji dan mungkar, mulutnya masih saja ceriwis kesana ke mari, telpon sana telpon ke sini, sms-an ke sana kemari, bbm-an ke sana kemari, atau juga menggunakan FB, Twitter dan media social lainnya, hanya untuk menggunjingkan orang.
Orang ini berarti tidak merasakan manfaatnya shalat dalam kehidupannya, dia tidak merasakan kenikmatan dari shalat yang dilakukannya, maka besar kemungkinan shalatnya belum diterima oleh Allah SWT, hal ini di sabdakan oleh Rosulullah SAW:
” Pada hari kiamat nanti ada orang yang membawa shalatnya kepada Allah SWT. Kemudian dia mempersembahkan shalatnya kepada Allah SWT. Lalu shalatnya dilipat-lipat seperti dilipatnya pakaian yang kumal, kemudian dibantingkan ke wajahnya. Allah tidak menerima shalatnya “
Banyak sekali orang yang shalat dan shalatnya akan dibantingkan ke wajahnya, ditolak oleh Allah. Bahkan ada yang yang celaka dengan shalatnya. Seperti yang terdapat dalam firman Allah swt dalam surat Al Ma’un 4-5: ” Maka celakalah bagi orang-orang yang shalat, yaitu orang-orang yang melalaikan shalatnya “.
Nah orang-orang yang shalat saja masih bisa celaka, apa lagi yang tidak sholat, bahkan ketika Isra Mi’Raj Nabi bertemu dengan kaum yang dipecahkan kepalanya sampai hancur, siapakah mereka? Lalu apa tanda-tanda shalat yang diterima Allah SWT? Jawabanya diberikan oleh Allah dalam hadist Qudsi .
Allah berfirman : “Sesungguhnya Aku hanya akan menerima shalat orang-orang yang merendahkan dirinya-karena kebesaran-Ku, menahan dirinya dari hawa napsu karena Aku, yang mengisi sebagian waktu siangnya untuk berdzikir kepada-Ku, yang melazimkan hatinya untuk takut kepada-Ku, yang tidak sombong terhadap makhluk-Ku, yang memberi makan pada orang yang lapar, yang memberi pakaian pada orang yang telanjang, yang menyayangi orang yang terkena musibah, yang memberikan perlindungan kepada orang yang terasing. Kelak cahaya orang itu akan bersinar seperti cahaya matahari. Aku akan berikan cahaya ketika dia kegelapan. Aku akan berikan ilmu ketika dia tidak tahu. Aku akan lindungi dia dengan kebesaran-Ku. Aku akan suruh Malaikat menjaganya. Kalau dia berdoa kepada-Ku, Aku akan segera menjawabnya. Kalau dia meminta kepada-Ku, Aku akan segera memenuhi permintaannya. Perumpaannya dihadapan-Ku seperti perumpamaan syurga Firdaus”.
Dari hadist qudsi yang cukup panjang di atas di atas, dapat kita ketahui bahwa tanda orang yang shalatnya diterima :
Pertama, merendah diri. Para ulama mengatakan : “Kalau kita sudah berdiri di atas sajadah, sudah mengangkat tangan untuk takbir, ketahuilah bahwa kita sudah meninggalkan dunia ini, sudah meninggalkan Moskow atau Jakarta, sudah meninggalkan planet bumi ini, sudah Mi’raj menghadap Allah SWT. Seperti Rosulullah saw, kita sudah berada di Sidratul Muntaha”
Pada suatu hari orang melihat Imam Ali Zainal Abidin sedang berwudhu dan wajahnya berubah menjadi wajah yang pucat pasi. Tubuhnya gemetar. Ketika ditanya ” Wahai Imam. apa yang terjadi?” Imam Ali Zainal Abidin menjawab: ” Engkau tidak mengetahui di hadapan siapa sebentar lagi aku berdiri”.
Ketika berwudhu Imam Ali Zainal Abidin menyadari sebentar lagi beliau akan berdiri dihadapan Robbul Alamin, Penguasa alam semesta ini. Karena itu, pada waktu wudhunya saja beliau sudah gemeteran, sudah ketakutan., karena sebentar lagi mengahadap Allah.
Kedua, menahan napsu. Orang yang diterima shalatnya oleh Allah mampu mengendalikan hawa napsunya. Pada hari kiamat nanti, Sabda Rosulullah: “ Ada orang yang diistimewakan Allah, dilindungi khusus sebagai orang-orang penting pada hari kiamat. Salah satunya adalah orang yang diajak kencan oleh seorang perempuan yang cantik, yang mempunyai pangkat yang tinggi, tapi dia menolaknya, seraya berkata,” Aku takut kepada Allah SWT ” Itulah contoh orang yang mampu mengendalikan hawa napsunya.
Ketiga, banyak berdzikir. Tanda ketiga orang yang shalat diterima Allah SWT adalah banyak berdzikir. Dalam Al Qur’an kita selain diperintahkan untuk banyak melakukan amal sholeh, disuruh juga untuk beramal dengan sebaik-baiknya, hal ini difirmankan Allah yang artinya : “Allah akan menguji kamu siapa yang paling baik amalannya “.
Jadi Allah akan menguji manusia, siapa yang paling baik amalannya (hasanu amalan) dan bukan yang paling banyak amalannya (aksaru amalan). Lebih bagus lagi, manusia itu banyak amalnya dan baik amalannya.
Keempat, solideritas sosial pada sesama. Tanda yang lain dari orang yang shalatnya diterima adalah suka berderma dengan memberikan makanan kepada orang yang lapar atau memberikan pakaian pada orang yang tak punya, dia menyayangi orang yang terkena musibah dan memberikan perlindungan kepada orang yang terasing. Disinilah realisasi orang yang shalatnya diterima dan bila dikaitkan dengan negara kita yang sedang krisis, solideritas sosial dari yang mampu kepada yang tak punya sangat diperlukan.
Bila hal tersebut di atas sudah dilakukan, maka dari wajah orang yang shalatnya diterima akan memancarkan cahaya yang bersinar, cahaya yang menerangi kegelapan dan Allah akan memberikan ilmu pada saat dia tidak tahu.
Dalam hadist yang lain Rosulullah SAW menyebutkan bahwa salah satu cara mendekatikan diri kepada Allah SWT ialah bersipat dermawan dan senang membantu orang lain, terutama pada orang yang sedang kesulitan. Rosulullah bersabda : ” Orang yang dermawan dekat dengan Allah, dekat dengan manusia dan dekat dengan syurga, sedangkan orang yang bakhil atau pelit, jauh dari Allah, jauh dari manusia dan dekat dengan neraka”
Orang Dermawan insya Allah akan menemukan kenikmatan di dalam shalatnya, dia akan memperoleh kenikmatan didalam shalatnya, karena dia dijaga oleh para Malaikat, diberi cahaya dalam kegelapan dan diberi ilmu secara langsung oleh Allah SWT masuk kedalam hati sanubarinya.
Pada saat peperangan di Jaman Rosulullah banyak morang yang Yahudi yang dihukum mati. Ketika seorang tawanan mau dihukum mati, tiba-tiba malaikat Jibril datang memberi tahu Rosulullah, supaya orang Yahudi itu dibebaskan. Diberitahukan bahwa orang Yahudi yang satu ini suka memberikan makanan, manjamu tamu dan suka menolong fakir miskin. Katika Rosulullah datang memberitahukan kepada orang Yahudi itu bahwa dia dibebaskan.
Dia( Orang Yahudi) bertanya : “Mengapa?”
Nabi menjawab ” Allah baru saja memberitahukan padaku bahwa kamu suka membantu orang miskin, suka menjamu tamu dan suka memikul beban orang lain” Orang yahudi itu bertanya kembali ” Apakah Tuhanmu menyukai perilaku itu ?”
Nabi manjawab:” Betul, Tuhanku menyukai hal itu”
Waktu itu juga orang Yahudi itu memeluk Islam. Dia memeluk Islam karena sifat kedermawanannya dicintai Allah SWT.
Orang yang suka memberikan pertolongan, tidak mempersulit orang lain, tidak menahan hak orang lain dan memudahkan urusan orang lain, Insya Allah akan memperoleh kenikmatan dalam shalat, dan orang yang merasakan kenikmatan dalam shalat adalah salah tanda bahwa shalatnya diterima.
Dan orang yang shalatnya diterima Allah niscaya Allah menyintainya dan orang dicintai Allah akan terbukalah baginya segala pintu langit dan bumi, terbukalah segala macam dinding penghalang, terbukalah segala macam selubung kegelapan yang melanda jiwanya.
Nur Allah masuk kedalam hatinya, cahaya Allah masuk kedalam jiwanya, dan terbentuklah jiwa yang mut’mainnah, jiwa yang tenang, jiwa yang ridho dan diridhoi olehNya. Jiwa yang semacam ini tidak takut pada segala macam krisis yang melanda, tidak takut kehilangan jabatan yang fana, tidak takut pada kedudukan yang nestapa, tidak takut kekacauan duniawi, tidak takut hinaan, cacian, makian, ujian, cobaan dan sebagainya, yang dia takuti cuma Allah, Allah dan Allah.
Bila dihati orang yang shalatnya diterima hanya semata-semata Allah,maka tak ada lagi kesempatan untuk membenci, mengunjingkan, iri, dengki dan hasud pada orang lain, bahkan memusuhi setanpun dia tak sempat! Seperti yang dikatakan oleh wanita sufi Rabi’ah Al Adiwiyah : ” Hatiku sudah penuh dengan Allah, tak ada tempat lagi untuk memusuhi setan!”
Orang yang merasakan nikmatnya shalat, tidak akan memusuhi, membenci dan mengutuk siapapun, karena dia bukan pencipta dan pemberi rejeki kepada siapapun. Dia tidak sekali kali meremehkan seseorang, karena dia mengetahui banyak kekasih Allah berasal dari orang yang dianggap hina dina.
Orang yang merasakan nikmatnya shalat, bila dia punya jabatan, jabatannya akan dipergunakan untuk mendekati Allah, diajak bawahannya untuk mengabdi kepada Allah, karena dia mengetahui jabatan itupun sebenarnya bukan miliknya, tapi amanat Allah yang dititipkan kepadanya. Yang nantinya dimintai pertanggung jawaban dihadapan Illahi Robbi.
Makanya ketika Umar Bin Khattab dipilih menjabat khalifah, dia tidak menyebut ” Alhamdulillah” tapi ” Astagfirullah” dia mohon ampun kepada Allah, mengapa? karena yang terbayang dimatanya- bukan kursi empuk dengan berbagai macam fasilitas yang diterimanya, tapi amanat Allah, tanggung jawab kepada Allah itulah yang terbayang dalam pikiranya, bisakah dia mengemban amanat yang dipikulkan kepadanya? Bisakah dia berlaku adil kepada bawahannya?
Bila tidak, nerakalah tempatnya dan pemimpin yang tidak adil, termasuk orang yang tidak dilihat oleh Allah di akherat nanti, dan tidak mendapat ampunan Allah. Orang-orang yang diperlakukan tidak adil akan mengadukan hal tersebut kepada Allah dan Allah akan menjawabnya!
Inilah yang ditakutkan oleh Umar bin Khatab sebagai pemimpin, bandingkan dengan pejabat-pejabat sekarang, jauh sekali bedanya! Umar bin khattab adalah salah satu contoh orang yang sudah merasakan nikmatnya shalat, bahkan dalam shalatpun dia suka menangis, menangisi segala dosa-dosa yang pernah dilakukannya.
Sebelum mengakhiri kajian singkat ini, mari kita bertanya pada diri kita sendiri, sudahkan kita shalat dengan benar? Sudahkah sujud kita, rukuk kita, tuma’ninah kita benar? Mari kita sempurnakan shalat kita dengan sebenar-benarnya, sehingga shalat kita menjadi khusu’, insya Allah shalat yang penuh dengan kekhusu’an dan keikhlasan akan diterima oleh Allah SWT. Amin.
Dan bagi yang belum juga terpanggil hatinya untuk melakukan shalat, saya mengajak dan segala kerendahan hati, marilah shalat, marilah mencapai kemenangan, hayya alashalat, hayya alal falah. Mau kapan lagi? Usia semakin tua, umur semakin berkurang, apa yang engkau cari wahai saudaraku? Masih tidak cukupkah rejeki yang engkau terima dari Allah? Tidak cukupkah gaji yang engkau terima? Mengapa engkau lupakan Allah?
Padahal Allah telah begitu banyak memberi padamu dan Dia tidak mengaharapkan apa-apa darimu, lalu mengapa engkau berpaling wahai saudaraku? Kalau pakai bahasa Nabi, Ummati….ummati….ummati, ummatku… ummatku… ummatku. Shalat …..Shalat …..shalat!


Selasa, 12 Juli 2016

TIGA HAL YANG MENYELAMATKAN DAN TIGA HAL YANG MERUSAK

Saudaraku, dalam hidup yang singkat ini sering kali kita terjebak dengan hal-hal yang sepele, namun menguras energi baik dalam diri kita. Akibatnya, agenda-agenda besar yang menjadi tugas kita sebagai khalifatullah di muka bumi terabaikan.
Sebagai khalifah, kita bertugas memakmurkan bumi, menciptakan peradaban dan menebarkan Islam yang rahmatan lil-alamin.
Diriwayatkan dari Ibnu Umar RA, Rasulullah SAW berkata, “Ada tiga hal yang menyelamatkan dan tiga hal yang merusak. Yang menyelamatkan adalah takwa kepada Allah dalam sepi maupun ramai, berkata benar (adil) dalam kondisi ridha maupun marah, dan bersikap sederhana dalam keadaan kaya maupun miskin. Sedangkan yang merusak adalah bakhil yang kelewatan, nafsu yang diikuti, dan menyombongkan diri sendiri.” (HR Baihaqi).
Mari kita telaah lebih lanjut. Tiga penyelamat terdiri atas bertakwa, adil dan sederhana.
Pertama, Takwa bermakna melaksanakan seluruh perintah Allah dan menjauhi larangan-larangan-Nya. Ini merupakan tanggung jawab yang tidak sederhana, karena menuntut seorang hamba secara total untuk patuh dan pasrah hanya kepada Allah. Sebagian kita berpendapat takwa sekadar melaksanakan shalat, puasa, haji, dan perkara ubudiyah lainnya.
Padahal, takwa mencakup seluruh gerak lahir dan batin, aqidah, syariah, muamalah dan akhlak.
Dalam hadits di atas disebut taqwallâh fis sirri wal ‘alâniyah. Artinya, takwa dalam setiap keadaan. Takwa menuntut seseorang hanya takut kepada Allah semata, bukan kepada yang lain, termasuk kepada atasan sendiri.
Dalam pesan Rasulullah itu, taqwallâh fis sirri wal ‘alâniyah bisa dikontraskan dengan perilaku merusak hawa muttaba’un atau hawa nafsu yang dituruti.
Inilah yang membuat takwa terasa sangat berat karena musuh terbesarnya adalah nafsu alias diri sendiri.
Pernahkah kita merasakan: kita terlihat begitu baik dan shalih saat bersama orang lain dan begitu binal dan durhaka saat sendirian?
Kedua, berkata benar dalam kondisi senang maupun marah. Emosi kita yang pasang-surut tak boleh menggoyahkan kita untuk tetap berpegang pada kebenaran dan keadilan. Mencaci maki dan memfitnah tetap terlarang meskipun ditujukan kepada orang yang sangat kita benci lantaran berbeda agama, mazhab atau partai politik. Korupsi mesti disanksi meskipun itu dilakukan oleh kerabat atau anak sendiri.
Ketiga, sederhana saat kaya maupun miskin. Sederhana saat miskin bukan hal yang aneh, sebab memang sedang “tak berpunya”. Namun sederhana saat kaya bukanlah hal mudah.
Karena itu, kita diajarkan untuk hidup zuhud. Kata Ibnul Qayyim, “Zuhud itu bukanlah orang yang meninggalkan gemerlap dunia dari genggamannya, tetapi hatinya terus memikirkannya. Zuhud adalah orang yang meninggalkan dunia dari hatinya, meskipun ada dalam genggamannya.”
Hal ini menjadi ciri dari kedewasaan seseorang dalam memaknai kekayaan. Kekayaan tidak diartikan sebagai tujuan melainkan sebatas sarana.  Karenanya penggunaannya pun seyogianya disesuaikan dengan kebutuhan belaka. Sederhana bukan berarti kekurangan, apalagi berlebihan.
Saudaraku, mari kita lihat hal-hal yang merusak umat manusia.
Pertama: Pelit. Dalam hadits tersebut, Rasulullah SAW menggunakan kata “As-Shuh”, bukan “bakhil”. Kata tersebut punya makna lebih pelit dari sekedar pelit (bakhil). Kira-kira, orang itu bukan cuma pelit pada orang lain, tetapi pelit pada diri sendiri. Pada diri orang itu terkumpul sifat semua sifat pelit: kikir, kedekeut dan borok sikutan.
Sifat seperti itu sangat tak terpuji. Karena itu, Ali bin Abi Thalib berkata, “Aku tak habis pikir dengan orang pelit. Orang miskin berlari darinya. Sedangkan orang kaya meninggalkannya dalam membanggakan harta. Di dunia, dia hidup dalam kemiskinan. Di akhirat dia dimintai pertanggung-jawaban dalam kelompok orang-orang kaya”.
Ibnul Qayyim menulis, “Pelit (pada dirimu sendiri) adalah kemiskinan yang tak berpahala”.
Rasulullah SAW berpesan, “Jauhilah perbuatan sangat kikir karena ia merusak orang (kaum) sebelum kamu”. (HR Abu Dawud).
Perusak yang kedua adalah nafsu yang diikuti. Pepatah Arab mengatakan, “nafsu bagaikan anak kecil. Jika engkau tak pandai mengendalikannya, maka engkau akan dikendalikannya”.
Ungkapan itu benar sekali. Anak kecil yang merengek minta permen, misalnya, jika dituruti justru akan menjerumuskannya pada sakit gigi. Tokoh yang terus mengikuti hawa nafsu adalah Firaun. Nafsu kekuasaan telah menjadikan dirinya sombong, serakah, dan akhirnya berkata, aku adalah tuhan kalian.
Ketiga: menyombongkan diri sendiri. Membanggakan kualitas diri sendiri bisa menjerumuskan seseorang kepada perilaku menyepelekan orang lain atau ‘ujub. Sedemikian bahayanya penyakit ‘ujub sehingga Ibnul Qayyim berkata, “Seseorang yang tertidur di malam hari lalu menyesal di pagi hari adalah lebih baik dari pada seseorang yang tahajud di malam hari lalu menyombongkan diri (dengan tahajud itu) di siang hari”.
Semoga kita berhasil mendapatkan tiga penyelamat, dan terhindar dari tiga perusak itu.
Wallahu’alam bis-shawab. (dakwatuna.com/hdn)

http://storage.googleapis.com/effecto/loading.gif

Adab Berdiskusi dan Berdebat Dalam Islam

ADAB DEBAT DALAM ISLAM (ADABUL MUNADZOROH WA AL JIDAL FIL ISLAM)

A. Sejarah Perdebatan Diskusi dan berdebat  adalah tradisi ilmiah yang sudah tumbuh sejak masa awal sejarah manusia. Al-Qur’an menyatakan bahwa  tradisi ini selalu ada pada setiap masa kenabian. 

“Dan tidaklah Kami mengutus rasul-rasul hanyalah sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan; tetapi orang-orang kafir membantah dengan yang batil agar dengan demikian mereka dapat melenyapkan kebenaran, dan mereka menganggap ayat-ayat kami dan peringatan- peringatan terhadap mereka sebagai olok-olokan.”(QS. al-Kahfi [18]: 56).

Kisah-kisah mujadalah juga termuat dalam dokumen sejarah, baik yang tercantum dalam sunnah, atsar dan dokumen-dokumen sejarah lainnya. Motif utama dari perdebatan adalah mencari kebenaran tertinggi, sekaligus untuk mengoreksi pendapat-pendapat dan keyakinan-keyakinan yang salah.
 

B. Berdebat dan berdialog adalah perintah agama
Al-Jadal bermakna At-Tahâwur yang artinya berdiskusi atau berdialog, seperti firman Allah:
“Sesungguhnya Allah telah mendengar perkataan wanita yang mengajukan gugatan kepada kamu tentang suaminya, dan mengadukan (halnya) kepada Allah. dan Allah mendengar soal jawab antara kamu berdua. Sesungguhnya Allah Maha mendengar lagi Maha melihat.” (QS. Al-Mujadilah [58]: 1)

Dalam ayat ini Allah menyebut al-jadal (berdebat) dengan istilah at-tahâwur (berdiskusi). Definisi al-jadal (berdebat) adalah penyampaian argumentasi atau yang diduga sebagai argumen oleh dua pihak yang berbeda pendapat. Tujuannya untuk membela pendapat atau kelompoknya, membatalkan argumen lawan, dan mengubahnya kepada pendapat yang tepat dan benar menurut pandangannya.
Berdebat termasuk perkara yang diperintahkan agama untuk menetapkan kebenaran dan menganulir kebatilan. Dalilnya adalah firman Allah SWT.

“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. Al-Nahl [16]: 125)

“Dan mereka (Yahudi dan Nasrani) berkata: “Sekali-kali tidak akan masuk surga kecuali orang-orang (yang beragama) Yahudi atau Nasrani.” Demikian itu (hanya) angan-angan mereka yang kosong belaka. Katakanlah: “Tunjukkanlah bukti kebenaranmu jika kamu adalah orang yang benar.”  (QS. Al-Baqarah [2]: 111)

Rasulullah SAW pun telah mendebat kaum Musyrik Makkah, Nasrani Najran, dan Yahudi Madinah. Pengemban dakwah akan senantiasa menyeru kepada kebaikan (Islam), amar makruf nahyi munkar, dan memerangi pemikiran yang sesat. Karena berdebat telah ditentukan sebagai uslub dalam semua aktivitas yang wajib tersebut, maka berdebat menjadi suatu kewajiban pula berdasarkan kaidah:
“Suatu kewajiban tidak akan bisa dilaksanakan dengan sempurna, kecuali dengan adanya sesuatu yang lain, maka hukum sesuatu yang lain itu pun menjadi wajib.”

C. Adab dan metode berdebat
 
Diantara akhlak dan aturan debat yang dapat dijadikan pegangan aadalah:
 
1.    Memelihara perdebatan tetap dalam suasana taqwa dan taqorrub kepada Allah
 
2.    Tujuan dan motif berdebat hanya untuk menjadikan kebenaran sebagi panglima. Imam Syafi’i berkata, “Aku tidak berbicara kepada seorang pun kecuali aku sangat suka jika ia mendapatkan taufik, berkata benar, dan diberi pertolongan. Ia akan mendapatkan pemeliharaan dan penjagaan dari Allah. Aku tidak berbicara kepada seorang pun selamanya kecuali aku tidak memperhatikan apakah Allah menjelaskan kebenaran melalui lisanku atau lisannya.” Ibnu Aqil berkata, “Setiap perdebatan yang tidak bertujuan untuk membela kebenaran maka itu menjadi bencana bagi pelakunya.”
3.    Bukan maksud untuk mencari popularitas, berselish, atau mencari musuh
4.    Diniatkan untuk memberikan nasihat karena agama adalah nasihat
5.    Menggunakan metode yang baik dan elegan.  Dari Ibnu Abbas sesungguhnya Rasulullah saw bersabda:
“Sesungguhnya petunjuk yang baik, cara yang baik, dan tidak berlebih-lebihan adalah satu bagian dari dua puluh lima bagian kenabian.” (HR. Ahmad dan Abû Dawud. Ibnu Hajar berkata dalam kitab al-Fath bahwa hadits ini isnadnya hasan). Dari Ibnu Mas’ud berkata: “Ketahuilah sesungguhnya sebagus-bagusnya petunjuk di akhir zaman lebih baik daripada sebagian amal.” (Ibnu Hajar berkata dalam kitab al-Fath bahwa sanad hadits ini shahih). Yang dimaksud dengan petunjuk disini adalah metodologi.
6.    Harus disepakati apa yang menjadi rujukan oleh kedua pihak. Berdebat dengan orang kafir dasar yang digunakan adalah logika semata. Adapun berdebat dengan sesame muslim mneggunakan akal dan naql. Akal menjadi rujukan pada perkara-perkara yang bersifat rasional. Sedangkan pada perkara-perkara yang bersifat syar’i, naql-lah yang menjadi dasar rujukannya
“Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah dan Rasul.” (QS. al-Nisaa’ [4]: 59) Wallâhu A’lam bi al Showwab.



Minggu, 03 Juli 2016

6 wasiat Khalifah Umar bin Khatab RA

6 Wasiat Khalifah Umar bin Khatab RA
  1. Bila kalian menemukan aib yang ada dalam diri seseorang, maka galilah aib yang ada pada diri kalian sendiri, karena aib kalian belum tentu sedikit;
  2.   Bila kalian ingin memusuhi seseorang atau sesuatu, maka musuhilah perut kalian,  karena tidak ada musuh yang lebih berbahya selain perut kalian;
  3. Bila kita ingin memuji seseorang, pujilah ALLAH SWT, karena tidak ada sesuatu yang lebih banyak memberi kepada kalian dan lebih lembut selain DIA;
  4.   Bila ada yang ingin kalian tinggalkan, maka tinggalkanlah kesenangan dunia, sebab justru bila kalian tinggalkan dunia, kalian menjadi terpuji;
  5.  Bila kalian ingin bersiap-siap untuk sesuatu, maka bersiaplah untuk mati, sebab bila kalian tidak menyiapkan bekal untuk mati, kalian akan penuh penyesalan;
  6. Bila kalian ingin menuntut sesuatu, maka tuntutlah akhirat karena kalian tidak akan mendapatkannya kecuali dengan mencarinya;