Selasa, 26 Juli 2016

Orang Yang Beruntung Menurut Nabi SAW

Orang Yang Beruntung Menurut Rasulullah SAW
                Di Dunia ini setiap orang ingin menjadi orang yang beruntung setiap saat dan di manapun berada. Setiap orang berharap menjadi orang yang beruntung di dunia ini. Seperti apakah orang yang beruntung itu? . Kita sering menganggap atau mengukur keberuntungan hidip di dunia itu dengan banyaknya harta yang dimiliki, rumah yang mewah, kendaraan yang mewah, pekerjaan yang mendatangkan uang yang besar, atau cantik dan tampanya pasangan kita,  atau dengan banyaknya anak yang kita miliki. Kalau itu ukuran keberuntungan manusia, maka tolak ukur kita hanyalah tolak ikur materi semata. Jika demikian bagaimanakah karakter manusia yang beruntung itu sesungguhnya.
                Rasulullah saw telah menerangkan karakter orang-orang yang memperoleh keberuntungan dan menjadi manusia—manusia yang bernasib mujur. Beliau pernah bersabda:
“Qod aflaha man aslama wa ruziqo kafaafan wa qonna’ahullahu bima ‘aataahu (rowahul muslim)”
“Sungguh telah beruntung orang yang memeluk Islam, dikarunia rezeki yang cukup dan Allah menjadikannya bersifat qona’ah atas nikmat diberikan Allah kepadanya” (HR Muslim)
                Dalam petunjuk di atas, Rasulullah saw menetapkan keberuntungan bagi orang-orang yang memiliki tiga karakter tersebut. Karena, ketiga karakter tersebut telah menggabungkan kebaikan agama dan dunia.
·         Seorang manusia bila telah memperoleh hidayah untuk memeluk Islam yang merupakan agama yang benar di sisi Allah, sungguh ia telah memiliki kunci untuk hidup bahagia bukan hanya saja di dunia tetapi juga di akhirat. Dan bekal agama Islam yang ia peluk dengan teguh adalah satu-satunya jalan meraih surga dan terhindar dari siksa neraka.
·         Selanjutnya, ia memperoleh rizqi yang mencukupi kebutuhan dirinya, sehingga dengan rizqi itu dia dapat menjaga kehormatan dirinya untuk tidak meminta-minta atau mengemis kepada orang lain;
·         Lalu Allah SWT menyempurnakan anugrah pada dirinya dengan menjadikannya manusia yang bersifat Qona’ah, yaitu sifat ridho dengan rezeki yang diberikan Allah swt. Jiwanya menerima dan tidak lagi rakus dengan menginginkan sesuatu yang lebih dari itu.
Ada sebuah hadist dari Nabi saw tentang ridho dengan pembagian rezeki ini:
“wardho bimaa qosamallahu laka takun aghnannaasi”
“Ridhoilah apa yang Allah bagikan untukmu, maka engkau akan menjadi orang yang paling berkecukupan” (HR At-Thirmidzi dan lainnya)”

                Orang yang telah memperoleh ketiga hal ini, ia telah mendapatkan kebaikan dunia dan akhirat.  Kita harus memiliki ketiganya, terutama yang pertama yaitu Hidayat Islam. Tanpa hidayat Islam kita kan menjadi orang yang merugi di dunia dan akhirat. Adapun jika kita tidak dapat memenuhi sarat yang kedua yaitu rezeki, maka hendaklah kita bersabar dan berusaha untuk mencari rizki dari Allah dengan cara yang benar dan bersabar serta berdoa. Insya Allah akan dikabulkan oleh Allah. Jika kita tidak memiliki yang ketiga, yaitu sifat Qonaah, maka kita akan menjadi hamba yang kurang bersyukur dan banyak mengeluh. Jadi usahakn ketiga syarat beruntung ini ada pada diri kita. Amiin Ya Robbal Alamiin.

Minggu, 17 Juli 2016

Empat Tanda Orang Yang Sholatnya Diterima

Empat Tanda Orang Yang Sholatnya Diterima
sholatOleh : Syaripudin Zuhri
Mungkin ada yang bertanya, ada orang yang rajin shalat, tapi mengapa shalatnya tidak mencegah dari perbuatan keji dan mungkar, mulutnya masih saja ceriwis kesana ke mari, telpon sana telpon ke sini, sms-an ke sana kemari, bbm-an ke sana kemari, atau juga menggunakan FB, Twitter dan media social lainnya, hanya untuk menggunjingkan orang.
Orang ini berarti tidak merasakan manfaatnya shalat dalam kehidupannya, dia tidak merasakan kenikmatan dari shalat yang dilakukannya, maka besar kemungkinan shalatnya belum diterima oleh Allah SWT, hal ini di sabdakan oleh Rosulullah SAW:
” Pada hari kiamat nanti ada orang yang membawa shalatnya kepada Allah SWT. Kemudian dia mempersembahkan shalatnya kepada Allah SWT. Lalu shalatnya dilipat-lipat seperti dilipatnya pakaian yang kumal, kemudian dibantingkan ke wajahnya. Allah tidak menerima shalatnya “
Banyak sekali orang yang shalat dan shalatnya akan dibantingkan ke wajahnya, ditolak oleh Allah. Bahkan ada yang yang celaka dengan shalatnya. Seperti yang terdapat dalam firman Allah swt dalam surat Al Ma’un 4-5: ” Maka celakalah bagi orang-orang yang shalat, yaitu orang-orang yang melalaikan shalatnya “.
Nah orang-orang yang shalat saja masih bisa celaka, apa lagi yang tidak sholat, bahkan ketika Isra Mi’Raj Nabi bertemu dengan kaum yang dipecahkan kepalanya sampai hancur, siapakah mereka? Lalu apa tanda-tanda shalat yang diterima Allah SWT? Jawabanya diberikan oleh Allah dalam hadist Qudsi .
Allah berfirman : “Sesungguhnya Aku hanya akan menerima shalat orang-orang yang merendahkan dirinya-karena kebesaran-Ku, menahan dirinya dari hawa napsu karena Aku, yang mengisi sebagian waktu siangnya untuk berdzikir kepada-Ku, yang melazimkan hatinya untuk takut kepada-Ku, yang tidak sombong terhadap makhluk-Ku, yang memberi makan pada orang yang lapar, yang memberi pakaian pada orang yang telanjang, yang menyayangi orang yang terkena musibah, yang memberikan perlindungan kepada orang yang terasing. Kelak cahaya orang itu akan bersinar seperti cahaya matahari. Aku akan berikan cahaya ketika dia kegelapan. Aku akan berikan ilmu ketika dia tidak tahu. Aku akan lindungi dia dengan kebesaran-Ku. Aku akan suruh Malaikat menjaganya. Kalau dia berdoa kepada-Ku, Aku akan segera menjawabnya. Kalau dia meminta kepada-Ku, Aku akan segera memenuhi permintaannya. Perumpaannya dihadapan-Ku seperti perumpamaan syurga Firdaus”.
Dari hadist qudsi yang cukup panjang di atas di atas, dapat kita ketahui bahwa tanda orang yang shalatnya diterima :
Pertama, merendah diri. Para ulama mengatakan : “Kalau kita sudah berdiri di atas sajadah, sudah mengangkat tangan untuk takbir, ketahuilah bahwa kita sudah meninggalkan dunia ini, sudah meninggalkan Moskow atau Jakarta, sudah meninggalkan planet bumi ini, sudah Mi’raj menghadap Allah SWT. Seperti Rosulullah saw, kita sudah berada di Sidratul Muntaha”
Pada suatu hari orang melihat Imam Ali Zainal Abidin sedang berwudhu dan wajahnya berubah menjadi wajah yang pucat pasi. Tubuhnya gemetar. Ketika ditanya ” Wahai Imam. apa yang terjadi?” Imam Ali Zainal Abidin menjawab: ” Engkau tidak mengetahui di hadapan siapa sebentar lagi aku berdiri”.
Ketika berwudhu Imam Ali Zainal Abidin menyadari sebentar lagi beliau akan berdiri dihadapan Robbul Alamin, Penguasa alam semesta ini. Karena itu, pada waktu wudhunya saja beliau sudah gemeteran, sudah ketakutan., karena sebentar lagi mengahadap Allah.
Kedua, menahan napsu. Orang yang diterima shalatnya oleh Allah mampu mengendalikan hawa napsunya. Pada hari kiamat nanti, Sabda Rosulullah: “ Ada orang yang diistimewakan Allah, dilindungi khusus sebagai orang-orang penting pada hari kiamat. Salah satunya adalah orang yang diajak kencan oleh seorang perempuan yang cantik, yang mempunyai pangkat yang tinggi, tapi dia menolaknya, seraya berkata,” Aku takut kepada Allah SWT ” Itulah contoh orang yang mampu mengendalikan hawa napsunya.
Ketiga, banyak berdzikir. Tanda ketiga orang yang shalat diterima Allah SWT adalah banyak berdzikir. Dalam Al Qur’an kita selain diperintahkan untuk banyak melakukan amal sholeh, disuruh juga untuk beramal dengan sebaik-baiknya, hal ini difirmankan Allah yang artinya : “Allah akan menguji kamu siapa yang paling baik amalannya “.
Jadi Allah akan menguji manusia, siapa yang paling baik amalannya (hasanu amalan) dan bukan yang paling banyak amalannya (aksaru amalan). Lebih bagus lagi, manusia itu banyak amalnya dan baik amalannya.
Keempat, solideritas sosial pada sesama. Tanda yang lain dari orang yang shalatnya diterima adalah suka berderma dengan memberikan makanan kepada orang yang lapar atau memberikan pakaian pada orang yang tak punya, dia menyayangi orang yang terkena musibah dan memberikan perlindungan kepada orang yang terasing. Disinilah realisasi orang yang shalatnya diterima dan bila dikaitkan dengan negara kita yang sedang krisis, solideritas sosial dari yang mampu kepada yang tak punya sangat diperlukan.
Bila hal tersebut di atas sudah dilakukan, maka dari wajah orang yang shalatnya diterima akan memancarkan cahaya yang bersinar, cahaya yang menerangi kegelapan dan Allah akan memberikan ilmu pada saat dia tidak tahu.
Dalam hadist yang lain Rosulullah SAW menyebutkan bahwa salah satu cara mendekatikan diri kepada Allah SWT ialah bersipat dermawan dan senang membantu orang lain, terutama pada orang yang sedang kesulitan. Rosulullah bersabda : ” Orang yang dermawan dekat dengan Allah, dekat dengan manusia dan dekat dengan syurga, sedangkan orang yang bakhil atau pelit, jauh dari Allah, jauh dari manusia dan dekat dengan neraka”
Orang Dermawan insya Allah akan menemukan kenikmatan di dalam shalatnya, dia akan memperoleh kenikmatan didalam shalatnya, karena dia dijaga oleh para Malaikat, diberi cahaya dalam kegelapan dan diberi ilmu secara langsung oleh Allah SWT masuk kedalam hati sanubarinya.
Pada saat peperangan di Jaman Rosulullah banyak morang yang Yahudi yang dihukum mati. Ketika seorang tawanan mau dihukum mati, tiba-tiba malaikat Jibril datang memberi tahu Rosulullah, supaya orang Yahudi itu dibebaskan. Diberitahukan bahwa orang Yahudi yang satu ini suka memberikan makanan, manjamu tamu dan suka menolong fakir miskin. Katika Rosulullah datang memberitahukan kepada orang Yahudi itu bahwa dia dibebaskan.
Dia( Orang Yahudi) bertanya : “Mengapa?”
Nabi menjawab ” Allah baru saja memberitahukan padaku bahwa kamu suka membantu orang miskin, suka menjamu tamu dan suka memikul beban orang lain” Orang yahudi itu bertanya kembali ” Apakah Tuhanmu menyukai perilaku itu ?”
Nabi manjawab:” Betul, Tuhanku menyukai hal itu”
Waktu itu juga orang Yahudi itu memeluk Islam. Dia memeluk Islam karena sifat kedermawanannya dicintai Allah SWT.
Orang yang suka memberikan pertolongan, tidak mempersulit orang lain, tidak menahan hak orang lain dan memudahkan urusan orang lain, Insya Allah akan memperoleh kenikmatan dalam shalat, dan orang yang merasakan kenikmatan dalam shalat adalah salah tanda bahwa shalatnya diterima.
Dan orang yang shalatnya diterima Allah niscaya Allah menyintainya dan orang dicintai Allah akan terbukalah baginya segala pintu langit dan bumi, terbukalah segala macam dinding penghalang, terbukalah segala macam selubung kegelapan yang melanda jiwanya.
Nur Allah masuk kedalam hatinya, cahaya Allah masuk kedalam jiwanya, dan terbentuklah jiwa yang mut’mainnah, jiwa yang tenang, jiwa yang ridho dan diridhoi olehNya. Jiwa yang semacam ini tidak takut pada segala macam krisis yang melanda, tidak takut kehilangan jabatan yang fana, tidak takut pada kedudukan yang nestapa, tidak takut kekacauan duniawi, tidak takut hinaan, cacian, makian, ujian, cobaan dan sebagainya, yang dia takuti cuma Allah, Allah dan Allah.
Bila dihati orang yang shalatnya diterima hanya semata-semata Allah,maka tak ada lagi kesempatan untuk membenci, mengunjingkan, iri, dengki dan hasud pada orang lain, bahkan memusuhi setanpun dia tak sempat! Seperti yang dikatakan oleh wanita sufi Rabi’ah Al Adiwiyah : ” Hatiku sudah penuh dengan Allah, tak ada tempat lagi untuk memusuhi setan!”
Orang yang merasakan nikmatnya shalat, tidak akan memusuhi, membenci dan mengutuk siapapun, karena dia bukan pencipta dan pemberi rejeki kepada siapapun. Dia tidak sekali kali meremehkan seseorang, karena dia mengetahui banyak kekasih Allah berasal dari orang yang dianggap hina dina.
Orang yang merasakan nikmatnya shalat, bila dia punya jabatan, jabatannya akan dipergunakan untuk mendekati Allah, diajak bawahannya untuk mengabdi kepada Allah, karena dia mengetahui jabatan itupun sebenarnya bukan miliknya, tapi amanat Allah yang dititipkan kepadanya. Yang nantinya dimintai pertanggung jawaban dihadapan Illahi Robbi.
Makanya ketika Umar Bin Khattab dipilih menjabat khalifah, dia tidak menyebut ” Alhamdulillah” tapi ” Astagfirullah” dia mohon ampun kepada Allah, mengapa? karena yang terbayang dimatanya- bukan kursi empuk dengan berbagai macam fasilitas yang diterimanya, tapi amanat Allah, tanggung jawab kepada Allah itulah yang terbayang dalam pikiranya, bisakah dia mengemban amanat yang dipikulkan kepadanya? Bisakah dia berlaku adil kepada bawahannya?
Bila tidak, nerakalah tempatnya dan pemimpin yang tidak adil, termasuk orang yang tidak dilihat oleh Allah di akherat nanti, dan tidak mendapat ampunan Allah. Orang-orang yang diperlakukan tidak adil akan mengadukan hal tersebut kepada Allah dan Allah akan menjawabnya!
Inilah yang ditakutkan oleh Umar bin Khatab sebagai pemimpin, bandingkan dengan pejabat-pejabat sekarang, jauh sekali bedanya! Umar bin khattab adalah salah satu contoh orang yang sudah merasakan nikmatnya shalat, bahkan dalam shalatpun dia suka menangis, menangisi segala dosa-dosa yang pernah dilakukannya.
Sebelum mengakhiri kajian singkat ini, mari kita bertanya pada diri kita sendiri, sudahkan kita shalat dengan benar? Sudahkah sujud kita, rukuk kita, tuma’ninah kita benar? Mari kita sempurnakan shalat kita dengan sebenar-benarnya, sehingga shalat kita menjadi khusu’, insya Allah shalat yang penuh dengan kekhusu’an dan keikhlasan akan diterima oleh Allah SWT. Amin.
Dan bagi yang belum juga terpanggil hatinya untuk melakukan shalat, saya mengajak dan segala kerendahan hati, marilah shalat, marilah mencapai kemenangan, hayya alashalat, hayya alal falah. Mau kapan lagi? Usia semakin tua, umur semakin berkurang, apa yang engkau cari wahai saudaraku? Masih tidak cukupkah rejeki yang engkau terima dari Allah? Tidak cukupkah gaji yang engkau terima? Mengapa engkau lupakan Allah?
Padahal Allah telah begitu banyak memberi padamu dan Dia tidak mengaharapkan apa-apa darimu, lalu mengapa engkau berpaling wahai saudaraku? Kalau pakai bahasa Nabi, Ummati….ummati….ummati, ummatku… ummatku… ummatku. Shalat …..Shalat …..shalat!


Selasa, 12 Juli 2016

TIGA HAL YANG MENYELAMATKAN DAN TIGA HAL YANG MERUSAK

Saudaraku, dalam hidup yang singkat ini sering kali kita terjebak dengan hal-hal yang sepele, namun menguras energi baik dalam diri kita. Akibatnya, agenda-agenda besar yang menjadi tugas kita sebagai khalifatullah di muka bumi terabaikan.
Sebagai khalifah, kita bertugas memakmurkan bumi, menciptakan peradaban dan menebarkan Islam yang rahmatan lil-alamin.
Diriwayatkan dari Ibnu Umar RA, Rasulullah SAW berkata, “Ada tiga hal yang menyelamatkan dan tiga hal yang merusak. Yang menyelamatkan adalah takwa kepada Allah dalam sepi maupun ramai, berkata benar (adil) dalam kondisi ridha maupun marah, dan bersikap sederhana dalam keadaan kaya maupun miskin. Sedangkan yang merusak adalah bakhil yang kelewatan, nafsu yang diikuti, dan menyombongkan diri sendiri.” (HR Baihaqi).
Mari kita telaah lebih lanjut. Tiga penyelamat terdiri atas bertakwa, adil dan sederhana.
Pertama, Takwa bermakna melaksanakan seluruh perintah Allah dan menjauhi larangan-larangan-Nya. Ini merupakan tanggung jawab yang tidak sederhana, karena menuntut seorang hamba secara total untuk patuh dan pasrah hanya kepada Allah. Sebagian kita berpendapat takwa sekadar melaksanakan shalat, puasa, haji, dan perkara ubudiyah lainnya.
Padahal, takwa mencakup seluruh gerak lahir dan batin, aqidah, syariah, muamalah dan akhlak.
Dalam hadits di atas disebut taqwallâh fis sirri wal ‘alâniyah. Artinya, takwa dalam setiap keadaan. Takwa menuntut seseorang hanya takut kepada Allah semata, bukan kepada yang lain, termasuk kepada atasan sendiri.
Dalam pesan Rasulullah itu, taqwallâh fis sirri wal ‘alâniyah bisa dikontraskan dengan perilaku merusak hawa muttaba’un atau hawa nafsu yang dituruti.
Inilah yang membuat takwa terasa sangat berat karena musuh terbesarnya adalah nafsu alias diri sendiri.
Pernahkah kita merasakan: kita terlihat begitu baik dan shalih saat bersama orang lain dan begitu binal dan durhaka saat sendirian?
Kedua, berkata benar dalam kondisi senang maupun marah. Emosi kita yang pasang-surut tak boleh menggoyahkan kita untuk tetap berpegang pada kebenaran dan keadilan. Mencaci maki dan memfitnah tetap terlarang meskipun ditujukan kepada orang yang sangat kita benci lantaran berbeda agama, mazhab atau partai politik. Korupsi mesti disanksi meskipun itu dilakukan oleh kerabat atau anak sendiri.
Ketiga, sederhana saat kaya maupun miskin. Sederhana saat miskin bukan hal yang aneh, sebab memang sedang “tak berpunya”. Namun sederhana saat kaya bukanlah hal mudah.
Karena itu, kita diajarkan untuk hidup zuhud. Kata Ibnul Qayyim, “Zuhud itu bukanlah orang yang meninggalkan gemerlap dunia dari genggamannya, tetapi hatinya terus memikirkannya. Zuhud adalah orang yang meninggalkan dunia dari hatinya, meskipun ada dalam genggamannya.”
Hal ini menjadi ciri dari kedewasaan seseorang dalam memaknai kekayaan. Kekayaan tidak diartikan sebagai tujuan melainkan sebatas sarana.  Karenanya penggunaannya pun seyogianya disesuaikan dengan kebutuhan belaka. Sederhana bukan berarti kekurangan, apalagi berlebihan.
Saudaraku, mari kita lihat hal-hal yang merusak umat manusia.
Pertama: Pelit. Dalam hadits tersebut, Rasulullah SAW menggunakan kata “As-Shuh”, bukan “bakhil”. Kata tersebut punya makna lebih pelit dari sekedar pelit (bakhil). Kira-kira, orang itu bukan cuma pelit pada orang lain, tetapi pelit pada diri sendiri. Pada diri orang itu terkumpul sifat semua sifat pelit: kikir, kedekeut dan borok sikutan.
Sifat seperti itu sangat tak terpuji. Karena itu, Ali bin Abi Thalib berkata, “Aku tak habis pikir dengan orang pelit. Orang miskin berlari darinya. Sedangkan orang kaya meninggalkannya dalam membanggakan harta. Di dunia, dia hidup dalam kemiskinan. Di akhirat dia dimintai pertanggung-jawaban dalam kelompok orang-orang kaya”.
Ibnul Qayyim menulis, “Pelit (pada dirimu sendiri) adalah kemiskinan yang tak berpahala”.
Rasulullah SAW berpesan, “Jauhilah perbuatan sangat kikir karena ia merusak orang (kaum) sebelum kamu”. (HR Abu Dawud).
Perusak yang kedua adalah nafsu yang diikuti. Pepatah Arab mengatakan, “nafsu bagaikan anak kecil. Jika engkau tak pandai mengendalikannya, maka engkau akan dikendalikannya”.
Ungkapan itu benar sekali. Anak kecil yang merengek minta permen, misalnya, jika dituruti justru akan menjerumuskannya pada sakit gigi. Tokoh yang terus mengikuti hawa nafsu adalah Firaun. Nafsu kekuasaan telah menjadikan dirinya sombong, serakah, dan akhirnya berkata, aku adalah tuhan kalian.
Ketiga: menyombongkan diri sendiri. Membanggakan kualitas diri sendiri bisa menjerumuskan seseorang kepada perilaku menyepelekan orang lain atau ‘ujub. Sedemikian bahayanya penyakit ‘ujub sehingga Ibnul Qayyim berkata, “Seseorang yang tertidur di malam hari lalu menyesal di pagi hari adalah lebih baik dari pada seseorang yang tahajud di malam hari lalu menyombongkan diri (dengan tahajud itu) di siang hari”.
Semoga kita berhasil mendapatkan tiga penyelamat, dan terhindar dari tiga perusak itu.
Wallahu’alam bis-shawab. (dakwatuna.com/hdn)

http://storage.googleapis.com/effecto/loading.gif

Adab Berdiskusi dan Berdebat Dalam Islam

ADAB DEBAT DALAM ISLAM (ADABUL MUNADZOROH WA AL JIDAL FIL ISLAM)

A. Sejarah Perdebatan Diskusi dan berdebat  adalah tradisi ilmiah yang sudah tumbuh sejak masa awal sejarah manusia. Al-Qur’an menyatakan bahwa  tradisi ini selalu ada pada setiap masa kenabian. 

“Dan tidaklah Kami mengutus rasul-rasul hanyalah sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan; tetapi orang-orang kafir membantah dengan yang batil agar dengan demikian mereka dapat melenyapkan kebenaran, dan mereka menganggap ayat-ayat kami dan peringatan- peringatan terhadap mereka sebagai olok-olokan.”(QS. al-Kahfi [18]: 56).

Kisah-kisah mujadalah juga termuat dalam dokumen sejarah, baik yang tercantum dalam sunnah, atsar dan dokumen-dokumen sejarah lainnya. Motif utama dari perdebatan adalah mencari kebenaran tertinggi, sekaligus untuk mengoreksi pendapat-pendapat dan keyakinan-keyakinan yang salah.
 

B. Berdebat dan berdialog adalah perintah agama
Al-Jadal bermakna At-Tahâwur yang artinya berdiskusi atau berdialog, seperti firman Allah:
“Sesungguhnya Allah telah mendengar perkataan wanita yang mengajukan gugatan kepada kamu tentang suaminya, dan mengadukan (halnya) kepada Allah. dan Allah mendengar soal jawab antara kamu berdua. Sesungguhnya Allah Maha mendengar lagi Maha melihat.” (QS. Al-Mujadilah [58]: 1)

Dalam ayat ini Allah menyebut al-jadal (berdebat) dengan istilah at-tahâwur (berdiskusi). Definisi al-jadal (berdebat) adalah penyampaian argumentasi atau yang diduga sebagai argumen oleh dua pihak yang berbeda pendapat. Tujuannya untuk membela pendapat atau kelompoknya, membatalkan argumen lawan, dan mengubahnya kepada pendapat yang tepat dan benar menurut pandangannya.
Berdebat termasuk perkara yang diperintahkan agama untuk menetapkan kebenaran dan menganulir kebatilan. Dalilnya adalah firman Allah SWT.

“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. Al-Nahl [16]: 125)

“Dan mereka (Yahudi dan Nasrani) berkata: “Sekali-kali tidak akan masuk surga kecuali orang-orang (yang beragama) Yahudi atau Nasrani.” Demikian itu (hanya) angan-angan mereka yang kosong belaka. Katakanlah: “Tunjukkanlah bukti kebenaranmu jika kamu adalah orang yang benar.”  (QS. Al-Baqarah [2]: 111)

Rasulullah SAW pun telah mendebat kaum Musyrik Makkah, Nasrani Najran, dan Yahudi Madinah. Pengemban dakwah akan senantiasa menyeru kepada kebaikan (Islam), amar makruf nahyi munkar, dan memerangi pemikiran yang sesat. Karena berdebat telah ditentukan sebagai uslub dalam semua aktivitas yang wajib tersebut, maka berdebat menjadi suatu kewajiban pula berdasarkan kaidah:
“Suatu kewajiban tidak akan bisa dilaksanakan dengan sempurna, kecuali dengan adanya sesuatu yang lain, maka hukum sesuatu yang lain itu pun menjadi wajib.”

C. Adab dan metode berdebat
 
Diantara akhlak dan aturan debat yang dapat dijadikan pegangan aadalah:
 
1.    Memelihara perdebatan tetap dalam suasana taqwa dan taqorrub kepada Allah
 
2.    Tujuan dan motif berdebat hanya untuk menjadikan kebenaran sebagi panglima. Imam Syafi’i berkata, “Aku tidak berbicara kepada seorang pun kecuali aku sangat suka jika ia mendapatkan taufik, berkata benar, dan diberi pertolongan. Ia akan mendapatkan pemeliharaan dan penjagaan dari Allah. Aku tidak berbicara kepada seorang pun selamanya kecuali aku tidak memperhatikan apakah Allah menjelaskan kebenaran melalui lisanku atau lisannya.” Ibnu Aqil berkata, “Setiap perdebatan yang tidak bertujuan untuk membela kebenaran maka itu menjadi bencana bagi pelakunya.”
3.    Bukan maksud untuk mencari popularitas, berselish, atau mencari musuh
4.    Diniatkan untuk memberikan nasihat karena agama adalah nasihat
5.    Menggunakan metode yang baik dan elegan.  Dari Ibnu Abbas sesungguhnya Rasulullah saw bersabda:
“Sesungguhnya petunjuk yang baik, cara yang baik, dan tidak berlebih-lebihan adalah satu bagian dari dua puluh lima bagian kenabian.” (HR. Ahmad dan Abû Dawud. Ibnu Hajar berkata dalam kitab al-Fath bahwa hadits ini isnadnya hasan). Dari Ibnu Mas’ud berkata: “Ketahuilah sesungguhnya sebagus-bagusnya petunjuk di akhir zaman lebih baik daripada sebagian amal.” (Ibnu Hajar berkata dalam kitab al-Fath bahwa sanad hadits ini shahih). Yang dimaksud dengan petunjuk disini adalah metodologi.
6.    Harus disepakati apa yang menjadi rujukan oleh kedua pihak. Berdebat dengan orang kafir dasar yang digunakan adalah logika semata. Adapun berdebat dengan sesame muslim mneggunakan akal dan naql. Akal menjadi rujukan pada perkara-perkara yang bersifat rasional. Sedangkan pada perkara-perkara yang bersifat syar’i, naql-lah yang menjadi dasar rujukannya
“Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah dan Rasul.” (QS. al-Nisaa’ [4]: 59) Wallâhu A’lam bi al Showwab.



Minggu, 03 Juli 2016

6 wasiat Khalifah Umar bin Khatab RA

6 Wasiat Khalifah Umar bin Khatab RA
  1. Bila kalian menemukan aib yang ada dalam diri seseorang, maka galilah aib yang ada pada diri kalian sendiri, karena aib kalian belum tentu sedikit;
  2.   Bila kalian ingin memusuhi seseorang atau sesuatu, maka musuhilah perut kalian,  karena tidak ada musuh yang lebih berbahya selain perut kalian;
  3. Bila kita ingin memuji seseorang, pujilah ALLAH SWT, karena tidak ada sesuatu yang lebih banyak memberi kepada kalian dan lebih lembut selain DIA;
  4.   Bila ada yang ingin kalian tinggalkan, maka tinggalkanlah kesenangan dunia, sebab justru bila kalian tinggalkan dunia, kalian menjadi terpuji;
  5.  Bila kalian ingin bersiap-siap untuk sesuatu, maka bersiaplah untuk mati, sebab bila kalian tidak menyiapkan bekal untuk mati, kalian akan penuh penyesalan;
  6. Bila kalian ingin menuntut sesuatu, maka tuntutlah akhirat karena kalian tidak akan mendapatkannya kecuali dengan mencarinya;



Pemimpin Muslim Jelas Lebih Baik dari Pemimpin Kafir

Istilah Pemimpin Kafir yang Jujur Lebih Baik adalah Propagada Berbahaya
Rabu, 13 April 2016 - 10:07 WIB
Guru Besar Institut Pertanian Bogor (IPB) tersebut mengajak seluruh elemen masyarakat, khususnya warga Jakarta untuk berhati-hati dalam urusan memilih pemimpin
Istilah Pemimpin Kafir yang Jujur Lebih Baik adalah Propagada Berbahaya
Guru Besar IPB dan mantan Ketua Umum BAZNAS. Prof. Dr. KH. Didin Hafidhuddin

Hidayatullah.com–Pemimpin Islam yang baik adalah fakta. Hal itu terbukti sejak zaman para sahabat Nabi dan bisa ditemui hingga sekarang di beberapa wilayah Nusantara.
Demikian ditegaskan oleh Wakil Ketua Dewan Pertimbangan (Wantim) Majelis Ulama Indonesia (MUI), Prof. Dr KH. Didin Hafidhuddin di Masjid al-Hijri II Bogor, Selasa (13/04/2016).
Menurut Kiai Didin, hal ini harus disampaikan ke masyarakat menjelang Pemilihan Gubernur (Pilgub) DKI Jakarta dan untuk menepis anggapan bahwa tidak ada figur pemimpin Islam yang baik.
“Kalau pemimpin Islam berhasil itu fakta sedang pemimpin kafir berhasil itu pencitraan saja. Tidak ada itu,” ucap Kiai Didin sambil menyebut beberapa kepala daerah Muslim yang berhasil mengemban amanah mereka.
Di hadapan puluhan mahasiswa dan dosen UIKA, sebagai seorang Muslim, Kiai Didin mengaku kecewa atas propaganda sebagian media yang mengatakan lebih baik pilih pemimpin kafir yang jujur daripada pemimpin Muslim yang korupsi.
“Ini sudah keterlaluan. Siapa bilang pemimpin kafir itu jujur? Siapa bilang semua pemimpin Muslim itu tidak baik?”   tolak Pengasuh Pondok Pesantren Mahasiswa dan Sarjana (PPMS) Ulil Albab Bogor dengan nada tanya.
Untuk itu Guru Besar Institut Pertanian Bogor (IPB) tersebut mengajak seluruh elemen masyarakat, khususnya warga Jakarta untuk berhati-hati dalam urusan memilih pemimpin.
“Jadi ini bukan sekadar yang penting bukan Ahok lagi. Tapi harus jelas bahwa pemimpin kita itu pemimpin Muslim yang taat agama dan keluarganya baik,” lanjut Kiai Didin memberi arahan.
“Kalau salah maka dia jadi bumerang lagi yang makin melemahkan umat Islam,” imbau Ketua Dekan Pascasarjana Universitas Ibn Khaldun (UIKA) Bogor tersebut.
Terakhir, Kiai Didin berharap kaum Muslimin bisa bersatu mengutamakan maslahat umat yang lebih besar daripada kepentingan kelompok atau golongan tertentu.
“Mari terus mendukung perjuangan ini, setidaknya dengan doa-doa dari umat Islam. Semoga Jakarta secara khusus bisa dipimpin oleh pemimpin Muslim yang taat beragama,” tutup Kiai Didin.*/Masykur
Rep: Admin Hidcom
Editor: Cholis Akbar


Hidayatullah.com–“Kiai Bahtiar Nasir pantas menangis memiliki gubernur seperti Ahok,” kata pengamat media Adian Husaini, dalam acara Ulasan Media di Radio Dakta 107 FM, Selasa (12/04/2016) pagi.
Seperti diberitakan sejumlah media, Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama mengaku, dirinya menyimpan banyak jenis minuman di kulkas rumahnya, termasuk minuman keras.
Tetapi, katanya, itu bukan untuk diminum sendiri, melainkan untuk menjamu para tamu, termasuk tamu asing.  Hal itu disampaikan Ahok menanggapi ramainya berita yang menampilkan foto minuman keras di meja makan rumahnya pada jamuan makan malam dengan para tim pendukungnya, Jumat (08/04/2016) malam.
“Kamu mau wine, mau bir, mau sirup, mau jus, kulkas saya penuh. Jadi, Anda kalau mau bir, mau apa, silakan kalau datang bertamu di rumah saya,” kata pria yang biasa disapa Ahok ini di Balai Kota, Senin (10/4/2016) dikutip laman Kompas.
Beberapa hari sebelumnya, tentang saham Pemda DKI di perusahaan bir disinggungg Ahok. Ia mengatakan: “Kami punya saham, lanjut saja. Bir salahnya di mana sih? Ada enggak orang mati karena minum bir? Orang mati kan karena minum oplosan cap topi miring-lah, atau minum spiritus campur air kelapa. Saya kasih tahu, kalau kamu susah kencing, disuruh minum bir, lho,” kata Ahok.
Persisnya tentang pernyataan Ahok tersebut, Adian menyatakan, “Sepatutnya Ahok tahu diri dan punya perasaan, bahwa rakyatnya 80 persen Muslim. Pernyataan itu sangat sombong, angkuh, mentang-mentang sedang berkuasa,” kata Adian Selasa (12/04/2016) di acara Ulasan Media.
Adian juga menyatakan keyakinannya, bahwa para ulama di Jakarta semakin menjerit batinnya; mendengar dan menyimak pernyataan Ahok soal minuman keras seperti itu.
“Saya bisa memahami jika Kiai Bahtiar Nasir, Kiai Abdul Rosyid Abdullah Syafii, dan para ulama Jakarta lainnya menangis dan menjerit batinnya,” lanjut Adian.
Adian mengkritik logika Ahok.  “Memang minum bir tidak mati. Makan babi juga tidak mati. Makan duit korupsi juga tidak mati. Kenapa logika seperti ini yang dimainkan?”
Sepatutnya, saran Adian, Ahok tahu sopan santun. Tidak perlu menantang-nantang umat Islam dalam soal miras seperti itu.
Apalagi, lanjut Adian, pada saat yang sama, media massa memuat berita tentang Kebijakan Gubernur Papua yang melarang produksi dan peredaran miras di seluruh Papua.
Meskipun mayoritas rakyatnya beragama Kristen, Gubenur Papua memahami dampak buruk dari minuman keras, sehingga berani mengeluarkan kebijakan yang sangat tidak mudah tersebut.
Pada akhir ulasannya, Adian mengingatkan adanya hadits Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wassallam, bahwa kalau umat Islam meninggalkan aktivitas amar ma’ruf nahi munkar, maka mereka akan diberi pemimpin yang merupakan orang-orang yang paling jahat diantara mereka. Karena itu, kata Adian, umat Islam Jakarta khususnya, harus melakukan introspeksi serius, mengapa sampai diuji oleh Allah Subhanahu Wata’ala, memiliki gubenur DKI seperti itu.
Acara Ulasa Media adalah acara yang diisi Dr Adian Husaini mengudara setiap Hari Senin-Jumat di Dakta 107 FM.*/Yan, Bekasi



inilah 5 fungsi Masjid di Zaman raslullah

Inilah Lima Fungsi Masjid di Zaman Rasulullah SAW
Masjid Baiturrahman Banda Aceh

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Imam Masjid al-Istiqlal, Ali Mustafa mengatakan, terdapat lima fungsi Masjid pada zaman Rasulullah SAW. Hal ini berarti Masjid tidak hanya sebagai tempat beribadah saja seperti yang selama ini dilakukan di Indonesia.

"Ada lima fungsi, kalau tidak salah sudah pernah saya tulis di buku saya," ungkap Ali Mustafa kepada
 Republika, Selasa (24/2).

Ali Mustafa menyebutkan lima fungsi Masjid di zaman Rasulullah SAW, yakni berfungsi sebagai tempat ibadah dan pembelajaran. Selain itu, Masjid juga berfungsi sebagai tempat musyawarah, merawat orang sakit, dan asrama.
 

Pernyataan Imam Masjid al-Istiqlal ini dinyatakannya setelah rektor Uhamka mewacanakan agar fungsi Masjid dikembalikan seperti zaman Rasulullah SAW. Pada zaman Rasulullah SAW, Masjid berfungsi sebagai pusat budaya dan ilmu pengetahuan.
 

Mendengar hal tersebut, Ali pun mengakui bahwa fungsi Masjid memang demikian di zaman rasul. Dalam hal ini, lima fungsi itu dapat membantu Masjid menjadi pusat budaya dan ilmu pengetahuan.

Menurut Ali, ada beberapa fungsi yang dirasa kurang tepat untuk diterapkan zaman sekarang. Dia menegaskan, fungsi Masjid sebagai asrama tidak tepat jika dilakukan saat ini.
 

Ali juga menerangkan, pada zaman rasul, Masjid memang berfungsi sebagai asrama untuk para pelajar suffah. Hal ini berarti  sekitar 300 hingga 400 orang akan tinggal di Masjid untuk belajar. Dia menegaskan, jika kondisi ini diterapkan pada zaman sekarang dinilai kurang cocok.

Menurut Ali, jika kondisi tersebut terjadi di zaman sekarang, Ali khawatir Masjid akan menjadi tempat yang kumuh. Kecuali, dia menambahkan, asrama itu dibangun di sekitar atau di luar bangunan Masjid.
"Intinya, kelima fungsi atau aktivitas itu bisa dijalankan apabila dibangun di sekitar bangunaan Masjid. Jadi usahakan tidak menyatu dengan bangunan Masjid, "tambahnya.

Sebelumnya, rektor Uhamka mewacanakan agar fungsi Masjid dikembalikan fungsinya seperti di zaman Rasulullah SAW, yakni sebagai pusat budaya dan ilmu pengetahuan. Dia juga menyarankan agar Masjid bisa dilengkapi dengan perpustakaan dan internet.
APA MASJID ITU ?
Dari segi bahasa, masjid terambil dari akar kata sajada-sujud, yang berarti pula patuh, taat, serta tunduk dengan penuh hormat dan takzim. Sedangkan secara istilah, diartikan sebagai tempat beribadah umat Islam, khususnya dalam menegakkan sholat. Masjid juga sering disebut Baitullah (rumah Allah) yaitu bangunan yang didirikan sebagai sarana mengabdi kepada Allah.

Meletakkan dahi, kedua tangan, lutut, dan kaki ke bumi, yang kemudian dinamai sujud oleh syariat, adalah dalam bentuk lahiriyah yang paling nyata dari makna-makna di atas. Itulah sebabnya mengapa bangunan yang dikhususkan untuk melaksanakan sholat dinamakan masjid, yanga artinya “tempat bersujud”.

Dalam pengertian sehari-hari, masjid merupakan bagunan tepat sholat kaum Muslim. Tetapi, karena akar katanya mengandung makna tunduk dan patuh, hakikat masjid adalah tempat melakukan segala aktivitas yang mengandung kepatuhan kepada Allah semata.

Dengan demikian, masjid mempunyai peran dan fungsi yang luas, tidak semata untuk sholat saja. Bisa sebagai tempat menuntut ilmu (pendidikan), menyampaikan kebenaran (dakwah), memutuskan perkara kebenaran (peradilan), membantu dan tolong menolong antar sesama (sosial), membayar dan menyalurkan zakat (baitulmal-ekonomi) dan lain sebagainya.

FUNGSI MASJID PADA JAMAN ROSULULLAH (MUHAMMAD SAW)
Ketika Rosulullah SAW berhijrah ke Madinah, langkah pertama yang beliau lakukan adalah membangun Masjid kecil yang berlantaikan tanah, dan beratapkan pelepah kurma. Dari sana beliau membangun dunia ini, sehingga kota tempat beliau itu benar-benar menjadi Madinah, (seperti namanya) yang mempunyai arti harfiah “tempat peradaban”, atau paling tidak, dari tempat tersebut lahir benih peradaban baru umat manusia.

Masjid Quba’, yang pertama dibangun oleh Rosulullah SAW, menyusul Masjid Nabawi di Madinah. Dari sini kemudian dijabarkan fungsi masjid sehingga lahir peranan masjid yang beraneka ragam. Sejarah mencatat tidak kurang dari sepuluh peranan yang telah diemban oleh Masjid Nabawi, yaitu sebagai :
1.       Tempat ibadah (sholat, dzikir),
2.       Tempat konsultasi dan komunikasi (masalah sekonomi-sosial budaya),
3.       Tempat pendidikan,
4.       Tempat santunan sosial,
5.       Tempat latihan militer dan persiapan alat-alatnya,
6.       Tempat pengobatan para korban perang,
7.       Tempat perdamaian dan pengadilan sengketa,
8.       Aula dan tempat menerima tamu,
9.       Tempat menawan tahanan, dan
10.   Pusat penerangan atau pembelaan agama.

Mengapa pada masa silam masjid mampu berperan sangat luas ? hal ini disebabkan 1) Keadaan masyarakat yang masih sangat berpegang teguh kepada nilai, norma, dan jiwa agama. 2) Kemampuan  pembina-pembina  masjid  menghubungkan  kondisi sosial dan  kebutuhan  masyarakat  dengan uraian dan kegiatan masjid.

Sehingga manifestasi pemerintahan terlaksana di dalam masjid, baik pada pribadi-pribadi pemimpin pemerintahan yang menjadi imam/khatib maupun di dalam  ruangan-ruangan  masjid  yang   dijadikan tempat-tempat kegiatan pemerintahan dan syura (musyawarah).

Keadaan itu kini telah berubah, sehingga timbullah lembaga-lembaga baru yang mengambil alih  sebagian peranan masjid di masa lalu, yaitu lembaga-lembaga pemerintah maupun organisasi keagamaan lainnya. Seperti halnya telah ada Lembaga tersendiri yang mengurusi tentang pernikahan, keprajuriatan ataupun peperangan, dakwah, kesehatan, peradilan dan lain sebagainya.

Fungsi dan peran masjid secara luas seperti diatas tentunya sulit diwujudkan pada masa kini. Namun,  ini  tidak berarti bahwa masjid tidak dapat berperan di dalam hal-hal tersebut. Paling tidak perlu upaya dalam mengembalikan fungsi dan peran masjid agar lebih luas kembali di tengah-tengah masyarakat sekarang ini.

Masjid besar (khususnya) harus mampu melakukan kesepuluh peran  tadi. Paling tidak melalui uraian   para pengurusnya guna mengarahkan umat pada kehidupan duniawi dan ukhrawi yang lebih berkualitas. Tentunya sarana yang dimilikinya harus tepat, menyenangkan dan menarik semua umat, baik orang tua, dewasa, ana-anak, pria, wanita, terpelajar maupun tidak, sehat atau sakit, serta kaya atau miskin.

Di dalam Muktamar Risalatul Masjid di Makkah pada 1975, hal ini telah didiskusikan dan disepakati, bahwa suatu masjid baru dapat dikatakan berperan secara baik apabila memiliki ruangan, dan peralatan yang memadai untuk:
a.       Ruang sholat yang memenuhi syarat-syarat kesehatan,
b.      Ruang khusus wanita yang memungkinkan mereka keluar masuk tanpa bercampur dengan pria baik digunakan untuk shalat, maupun untuk Pendidikan Kesejahteraan Keluarga (PKK),
c.       Ruang pertemuan dan perpustakaan,
d.      Ruang poliklinik, dan ruang untuk memandikan dan mengkafankan jenazah,
e.      Ruang bermain, berolahraga, dan berlatih bagi remaja.

Semua hal di atas  harus  diwarnai  oleh  kesederhanaan  fisik bangunan,  namun  harus  tetap  menunjang peranan masjid ideal termaktub.

YANG TIDAK BOLEH DILAKUKAN DI DALAM MASJID
Masjid adalah milik Allah, karena itu kesuciannya harus dipelihara. Segala sesuatu yang diduga mengurangi kesucian masjid atau dapat mengesankan hal tersebut, tidak boleh dilakukan di dalam masjid maupun diperlakukan terhadap masjid.

Masjid harus mampu memberikan ketenangan dan ketenteraman pada pengunjung dan lingkungannya,  karena  itu  Rasulullah SAW. melarang adanya benih-benih pertengkaran di dalamnya, sampai-sampai beliau bersabda,
“Jika engkau mendapati seseorang menjual atau membeli di dalam masjid, katakanlah kepadanya, "Semoga Allah tidak memberi keuntungan bagi perdaganganmu,"
“dan bila engkau mendapati seseorang mencari barangnya yang hilang di dalam masjid, maka katakanlah, "Semoga Allah tidak mengembalikannya kepadamu (semoga engkau tidak menemukannya)."

Kedua teks yang disebutkan di atas tidak berarti larangan berbicara tentang perniagaan yang sifatnya mendidik umat, atau melarang para pembina dan pengelola masjid berniaga, melainkan yang dimaksud  adalah larangan melakukan transaksi perniagaan di dalam masjid.

Dengan kata lain, masjid adalah tempat ibadah dan pendidikan dalam pengertiannya yang luas.  Bukankah Al-Quran berbicara tentang segala aspek kehidupan manusia?

Wallahu’alam Bisshowab.

Sumber :
1.       Wawasan Al-Qur’an, Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat, Dr. M. Quraish Shihab, M.A.
2.       Syaamil Al-Qur’an The Miracle 15 in 1
3.       http://www.republika.co.id/


40 Kumpulan Ayat-ayat Al-Qur'an Yang Sering Dibaca Imam



40 Kumpulan Ayat-ayat Al-Qur’an Populer dan Sering Dibaca Imam

Inilah 40 lebih ayat-ayat Al-Quran yang sering dibaca imam dalam solat. Ayat-ayat ini sering dibaca karena kandungan isinya yang bagus. Ini referensi berharga untuk kita hafalakan dan amalkan dalam solat.



1.       Al-Baqarah 2: 183 – 186
2.       Al-Baqarah 2: 254 -257
3.       Al-Baqarah 2: 261 – 265
4.       Al-Baqarah 283 -286
5.       Ali  Imran 18 – 20
6.       Ali Imran 102 – 108
7.       Ali Imran 110 – 115
8.       Ali Imran 133 – 136
9.       Ali Imran 190 – 194
10.   An-Nisa 1 – 6
11.   Al-Maidah 6 -9
12.   Al-An’am 159 – 165
13.   At-Taubah 128 -129
14.   Yusuf 1- 6
15.   Ibrahim 5 – 8
16.   An-nahl 125 -128
17.   Al-Isra’ 1 -10
18.   Al-Isra’ 78 – 85
19.   Al-Kahfi 1 – 13
20.   Al-Kahfi102 – 110
21.   Al-Mu’minun 1 – 16
22.   An-Nur 35 -38
23.   Al- Furqan 72 – 77
24.   Ar-Ruum 1 – 11
25.   Luqman 12 – 19
26.   Al-Ahzab 21 – 24
27.   Al-Ahzab40 -48
28.   Al-Ahzab70 – 73
29.   Yaasin77 -83
30.   Saad 71 – 88
31.   Az-Zumar  71 – 74
32.   Fusilat30 – 35
33.   Al- Fath 1- 6
34.   Al-fath27 -29
35.   Al-hujurat 1 – 6
36.   Al-mujadalah 9 – 11
37.   Al-hasyr 18 – 24
38.   Al-Saff 10 – 14
39.   Al-Jumu’ah 9 – 11
40.   Al-Munafiqun 9 – 11
41.   At-taghabun 11 – 18

42.   Attahrim 8-12